![]() |
Gambar: https://bimbinganislam.com |
Dari Adi bin Tsabit al-Anshari bahwa ada seseorang
yang bersama sahabat Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu di kota al-Madain.
Ketika datang waktu shalat dan dikumandangkan iqamah, Ammar maju menjadi imam
dan berdiri di atas dukkan, sementara makmum shalat di
bawah. Melihat ini, Hudzaifah-pun maju dan menarik tangannya Ammar, beliaupun
mengikuti Hudzaifah, hingga Hudzaifah menurunkan amar di tanah. Seusai shalat,
Hudzaifah berkata kepada Ammar,
أَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِذَا أَمَّ الرَّجُلُ
الْقَوْمَ فَلَا يَقُمْ فِي مَكَانٍ أَرْفَعَ مِنْ مَقَامِهِمْ» أَوْ نَحْوَ
ذَلِكَ؟، قَالَ عَمَّارٌ: لِذَلِكَ اتَّبَعْتُكَ حِينَ أَخَذْتَ عَلَى يَدَيَّ
Tidakkah anda mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
”Apabila seseorang mengimami
masyarakat, janganlah dia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari posisi
makmum.” atau yang semacam itu?
Ammar menjawab: ’Dan karena itu, saya mau
mengikutimu ketika engkau menarik tanganku.’ (HR. Abu Daud 598 dan dinilai
hasan li ghairihi oleh al-Albani)
Keterangan:
Dukkan: tempat yang digunakan untuk duduk sebagaimana kursi, biasanya dalam
bentuk bangunan kotak kecil di dasar tembok, layaknya teras sebuah rumah.
Kedua, dinyatakan dalam hadis riwayat Bukhari & Muslim, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di atas mimbar. Sahabat Sahl bin
Sa’d as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
وَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَيْهِ فَكَبَّرَ وَكَبَّرَ
النَّاسُ وَرَاءَهُ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ رَفَعَ فَنَزَلَ
الْقَهْقَرَى حَتَّى سَجَدَ فِي أَصْلِ الْمِنْبَرِ، ثُمَّ عَادَ، حَتَّى فَرَغَ
مِنْ آخِرِ صَلَاتِهِ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: «يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنِّي صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا بِي، وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي»
Saya pernah melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengimami di atas mimbar. Beliau takbiratul ihram
dan jamaahpun ikut takbir di belakang beliau, sementara beliau di atas mimbar. Kemudian,
ketika beliau i’tidal, beliau mundur ke belakang untuk turun, sehingga beliau
sujud di tanah. Lalu beliau kembali lagi ke atas mimbar, hingga beliau
menyelesaikan shalatnya. Kemudian beliau menghadap kepada para sahabat, dan
bersabda,
”Wahai para sahabat, aku
lakukan ini agar kalian bisa mengikutiku dan mempelajari shalatku.” (HR.
Bukhari 377, Muslim 544, Nasai 739, dan yang lainnya).
Karena beliau mengimami shalat di atas mimbar,
posisi belia lebih tinggi dari pada makmum.
Para ulama menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan,
imam boleh berada di posisi lebih tinggi dari pada makmum, jika ada kebutuhan.
Misalnya, agar bisa dilihat makmum atau agar suaranya lebih didengar oleh
makmum.
Ibnu Qudamah mengutip keterangan Imam as-Syafii,
وقال الشافعي: أختار للإمام
الذي يعلم من خلفه أن يصلي على الشيء المرتفع، فيراه من خلفه، فيقتدون به؛ لما روى
سهل بن سعد
“Saya berpendapat bahwa imam yang hendak mengajari
shalat makmum di belakangnya, dia boleh shalat di tempat yang tinggi, agar bisa
dilihat oleh orang yang berada di belakangnya, sehingga mereka bisa mengikuti
shalatnya imam, berdasarkan hadis yang diriwayatkan Sahl bin Sa’d.” (al-Mughni,
2/154).
Ketiga, Kebolehan mihrab lebih tinggi dari ma’mum dalam shalat bersifat Illat (sebab) artinya pengecualian diantaranya imam bermaksud untuk mengajarkan bagaimana cara shalat yang benar.
0 komentar:
Posting Komentar