Prof Yunahar Ilyas salah seorang Ketua PP MUHAMMADIYAH menyatakan: Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji Mas Mansyur, terjadilah revisi-revisi setelah melakukan kajian mendalam, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya do’a qunut di dalam shalat subuh dan jumlah rakaat shalat tarawih yag sebelas rakat. “ Ini wujud keterbukaan Muhammadiyah yang tidak fanatik” tegas Prof Yunahar. “
*^^*
Prof Mitsuo Nakmura dan Prof Munir Mulkhan bersepakat, sejak mula pergerakan yang digagas Kyai Dahlan memiliki dua warna, lebih karena pengaruh guru, pertama Kyai Dahlan berguru kepada Syaikh Akhmad Khatib bersama Kyai Hasyim Asy'ari di Mekkah, corak fiqh Mazhab Syafi'i amat kental, pun dengan aqidah ahlus-sunah. Sama sekali tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Kedua, Kyai Dahlan berguru kepada Syaikh Rasyid Ridha dan gurunya Syaikh Muhamad Abduh mendalami tafsir al Manar. Beliau mendapatkan pikiran-pikiran alternatif dan mendorong melakukan perubahan pemikiran umat Islam yang jumud dan mandeg. Al-Islamu mahjubun bil muslimin adalah tesis yang sangat berpengaruh kuat mewarnai pergerakan MUHAMMADIYAH selanjutnya.
Kyai Dahlan lahir dan besar di keraton Ngajogjakarta Hadiningrat pusat kekuasaan dan episentrum budaya tanah Jawa. Kyai Dahlan menjadi bagian urgent Kesultanan. Kedekatannya dengan pihak keraton memberikan legitimasi sosial pun dengan warga dimana Kyai Dahlan tinggal.
Kyai Dahlan menjadi bagian dari kultur Jogja. Pun dengan pemahaman keagamaan nya yang lebih dekat ke mazhab Syafi'i meski dalam perkembangannya beliau lebih memilih Syaikh Rasyid Ridha yang tidak bermazhab. Kyai Dahlan telah meletakkan fondasi tarjih di awal pergerakan dengan meminjam gagasan Syaikh Abduh dan muridnya Syaikh Rasyid Ridha. Dibuktikan dengan seringnya membaca majalah Al urwartul wustqa.
*^^*
Mungkin kita mencoba mencandra dengan meng-analog kan proses berpikir dan perihidup Kyai Dahlan dengan apa yang pernah dialami oleh Imam Syafi'i saat beliau menyusun kitab al Um yang kemudian secara paradigmatik dibagi menjadi dua bagian antara qaul qadim dan qaul jaddid. Keduanya memiliki perbedaan signifikan baik konten atau metodologi (fiqh dan ushul).
Studi dokumenter dan literatur barangkali menjadi penting untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang perihidup Kyai Dahlan sebelum adanya majelis tarjih. Sebab tarjih menjadi bagian di luar perihidup Kyai Dahlan saat itu. Pemisahan ini penting untuk mendapat data otentik dan akurat.
*^^*
Ambil satu contoh: 'Bila ada satu masalah yang kuat dasarnya Mahzab Syafii yang dianut Mahzab Syafii, kalau suatu masalah kuat Mahzab Hanafi, yang dianut Mahzab Hanafi” terang Prof Yunahar. Yang jelas Kyai Dahlan tidak pernah menyelisihi NU sebab hingga beliau wafat (1923) NU belum juga berdiri (1926).
Inilah gagasan awal lahirnya Majelis Tarjih meski tidak secara verbal dinyatakan benderang tapi substansi nya telah beliau lakukan. Muhammadiyah di masa Kyai Dahlan tidaklah 'sebaik' dan 'setertib' sekarang dan itu wajar sebagai sebuah pergerakan yang terus berkembang dinamis termasuk kita juga tak tahu bagaimana model MUHAMMADIYAH 100 tahun yang akan datang ... jadi wajar kalau Kyai Dahlan juga masih mengamalkan qunut shubuh dan tarweh 23 rakaat ... sebuah keniscayaan yang rasional-otentik pada saat itu .. . Sebagai kekayaan intelektual yang luas ... Wallahu a'lam
@nurbaniyusuf
Guru di UMM
Komunitas Padhang Makhsyar
0 komentar:
Posting Komentar